Edi Danggur : Tak Ada Orang yang Berhak Halangi Pengembangan Geothermal Poco Leok

Ruteng, NTT.infopertama.com – Praktisi Hukum asal Manggarai Barat, Edi Danggur ikut merespon rencana pengembangan PLTP Ulumbu unit 5-6 Poco Leok yang dipolemikkan oleh sekelompok orang luar dengan mencatut nama gereja lokal dengan dalil moralitas.

Menurut Edi Danggur, bahwa tidak ada orang yang berhak menghalangi PT PLN untuk memasuki area perluasan geothermal yang tanahnya sudah dilepaskan oleh masyarakat pemilik lahan. Dan, telah menerima uang ganti untung dari PT PLN.

Pelepasan hak kepemilikan tanah dari masyarakat pemilik lahan ini, kata Edi berawal dari atau setelah Bupati Manggarai, Herybertus Nabit menerbitkan SK Penlok.

Sehingga, bagi Edi Danggur terkait Poco Leok yang dipolemikkan oleh kelompok kecil tertentu bahwa Bupati salah menerbitkan SK Penlok, bupati dianggap sebagai Provokator dan berbagai konsekuensi logis pasca penerbitan SK sangat tidak beralasan.

Demikian Edi, bahwa penegasan di atas jika asumsikan rumusan masalahnya dari empat pertanyaan mendasar bahwa Salahkah bupati menerbitkan SK Penetapan Lokasi (Penlok)? Apakah bupati itu provokator hanya karena ia menerbitkan SK Penlok? Darimana sumber kewajiban Bupati melakukan sosialisasi penlok? Dan, Apakah isi sosialisasi untuk meyakinkan masyarakat menerima perluasan lokasi geothermal?

Dari perspektif bupati sebagai Pejabat Tata Usaha Negara (TUN), Bupati tidak salah. Sebab, PT PLN sebagai warga korporasi mempunyai hak yang sama dengan warga korporasi lainnya untuk mengajukan SK Penlok atau SK Ijin Lokasi bagi PT non BUMN.

Bupati bukan provokator. Sebab, ketika ia menerbitkan SK Penlok, ia sedang menjalankan kewajibannya sebagai Pejabat TUN. 

“Asalkan syarat-syarat terpenuhi, maka bupati wajib  untuk menerbitkan SK Penlok itu. Justru kalau bupati tidak menerbitkan SK Penlok itu, ia bisa digiugat di PTUN oleh PT PLN.” Jelas Edi Danggur dalam keterangan tertulisnya kepada infopertama.com, Senin, 9 September 2024 pagi.

Ia menegaskan, tidak ada kewajiban bagi bupati untuk mensosialisasikan ke masyarakat setiap SK TUN yang ia terbitkan. Tetapi kalau ada masyarakat yang merasa dirugikan oleh penerbitan sebuah SK TUN yang ditandatangani oleh bupati maka masyarakat yang merasa dirugikan itu mempunyai hak untuk menggugat pembatalan SK tersebut di PTUN.

“Justru bupati salah jika ia sosialisasikan SK Penlok agar masyarakat melepaskan hak atas tanah mereka dan menerima uang ganti untung dari PT PLN. Itu bukan urusan bupati.” Kata Edi.

Sebab, masyarakat punya hak untuk menolak melepaskan hak atas tanah mereka ke PT PLN dan sekaligus berhak menolak uang ganti untung yang ditawarkan oleh PT PLN.

Bupati tidak boleh ikut campur tangan dalam urusan negosiasi ganti untung itu. Jika masyarakat menolak ganti untung dan menolak melepaskan hak atas tanah mereka, maka SK Penlok gugur dengan sendirinya.

Gugurnya atau tidak berlakunya SK Penlok itu bukan urusan bupati. Tetapi urusan masyarakat pemilik tanah dan PT PLN.

Demikian Edi Danggur menegaskan, “Tidak ada orang di luar diri warga masyarakat pemilik lahan yang merasa berhak melarang masyarakat melepaskan hak atas tanah mereka kepada PT PLN. Bupati sekalipun tidak berwenang.”

Kenyataannya bahwa mayoritas masyarakat pemilik lahan dalam area perluasan lokasi geothermal sudah menerima uang ganti untung dari PT PLN. Itu berarti masalahnya sudah selesai.

Kalaupun hanya 1-5 orang yang belum menerima atau menolak uang ganti untung dari PT PLN, maka PT PLN mempunyai kewajiban untuk melakukan konsinyasi uang ganti untung yang belum diambil oleh masyarakat tersebut ke Pengadilan Negeri Ruteng.

Masyarakat yang 1-5 orang itu bisa mengambilnya di PN Ruteng kapan saja.  Jika tindakan konsinyasi yang dilakukan oleh PT PLN itu dianggap melanggar hukum, tinggal tunjukkan dasar hukumnya dan gugat PT PLN ke pengadilan.

Esensi SK Penlok itu perlu dipahami bahwa bupati tidak sedang memberikan hak atas tanah masyarakat kepada PT PLN.

Bupati tidak mempunyai hak untuk mengalihkan hak kepemilikan atas tanah warganya kepada PT PLN atau kepada warga korporasi lainnya.

SK Penlok itu HANYA menjadi dasar bagi PT PLN untuk mengadakan negosiasi pelepasan hak atas tanah dan negosiasi pemberian ganti untung kepada masyarakat.

Jika 100 persen masyarakat pemilik tanah menolak melepaskan hak atas tanah mereka dan menolak uang ganti untung yang ditawarkan oleh PT PLN maka SK Penlok menjadi tidak berwibawa dan gugur dengan sendirinya.

PT PLN dan bupati tidak berhak memaksa masuk ke lokasi dan memaksakan beroperasinya PT PLN di area perluasan geothermal.

Tetapi sebaliknya, ketika mayoritas masyarakat sepakat melepaskan hak atas mereka dan menerima uang ganti untung dari PT PLN, maka masalah sudah selesai. 

Karenanya, jelas Edi, konsekuensi logisnya adalah PT PLN mempunyai hak untuk mengajukan sertifikat hak yang baru atas tanah hak milik adat masyarakat tersebut ke BPN Manggarai sesuai peruntukannya.